Kanter (1993) percaya
bahwa akses pertama dalam pemberdayaan karyawan adalah tingkat kekuasaan formal (formal power) dan informal (informal
power) yang
dimiliki individu dalam organisasi. Kekuasaan formal berasal dari pekerjaan
dan karyawan yang mempunyai fleksibilitas, visibilitas, dan kreativitas. Kekuasaan
formal juga berasal dari pekerjaan yang dianggap relevan
dengan pendidikan (kompetensi)
dan bermanfaat
bagi organisasi. Kekuasaan informal
dikembangkan dari hubungan dan jaringan dengan rekan kerja, bawahan-atasan,
dan hubungan di luar organisasi.
Gambar 13. Proses Pemberdayaan Karyawan Menurut Kanter
Mayoritas karyawan di
bagian manajemen RS X adalah PNS. Untuk PNS kewenangan
pada perencanaan, recruitment dan penempatan tugas ada pada kekuasaan pemerintah
daerah. Perencanaan dan recruitment
di lingkungan birokrasi masih rancu dengan banyak faktor yang mempengaruhi.
Kerancuan yang sering terjadi adalah ketidak sesuaian kompetensi dengan
tugas/pekerjaan sehingga menimbulkan istilah “The wrong man in the wrong place” di lingkungan pemerintah (Yuliani, 2011). Kompetensi
merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi kinerja seseorang (Surakarta, 2009) dan kompetensi
yang sesuai dengan tugas dan tujuan organisasi merupakan proses awal dalam
memberdayakan karyawan (Kanter, 1993).
Definisi Pekerjaan
dapat diartikan uraian tugas atau deskripsi kerja. Uraian Tugas adalah adalah penyataan tertulis
yang menjelaskan tugas-tugas, kondisi kerja dan aspek-aspek lainnya dari suatu
jabatan tertentu (Werther & Davis, 1989). Secara evidence,
deskripsi kerja berhubungan positif dan signifikan terhadap prestasi kerja (Sarsono & Suseno, 2012). Di RS X ditemukan masih ada ketidak jelasan uraian tugas bagi
karyawannya sehingga prestasi dan kinerja yang diharapkan tidak di dapat secara
maksimal.
Empowerment
is not something that management does to employees but rather a mind set that
employees have about their role in organization. They must see themselves as
having freedom and discretion. (Quinn & Spreitzer, 1997)
Karyawan yang
diberdayakan harus memiliki fleksibiltas (keleluasaan dan kebebasan) dalam
melakukan pekerjaannya. Temuan dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa
fleksibilitas karyawan yang duduk di birokrasi masih sangat kurang. PNS selaku
aparatur Negara terikat dengan peraturan dan perundangan yang ada. Sistem ini
hanya memberi sedikit fleksibilitas dalam melaksanakan tugas, mobilitas karir
dan implementasi rencana-rencana insentif (Kimsean, 2011)
Kreatifitas bersumber dari kemampuan seorang karyawan
berimprovisasi dan berinovasi. Kreatifitas oleh Richard Ripples dalam Badi & Tajdin (2004) didefinisikan
sebagai kombinasi kemampuan, keterampilan, motivasi, dan sikap . Kamus The Blackwell Dictionary of Cognitive
Psychology (1991) memberikan pengertian kemampuan untuk memadukan berbagai
gagasan dengan cara baru dan tidak biasa guna menemukan solusi bagi masalah,
menciptakan penemuan baru atau menciptakan seni. Temuan dalam penelitian ini
memperlihatkan perilaku karyawan yang kurang kreatif dan hanya melaksanakan
perintah/tugas.
Berdasarkan teori yang
dimiliki Rosabeth Moss Kanter (1993) secara struktural, organisasi dalam
memberdayakan karyawan harus memberikan 4 akses utama yaitu:
- Akses Peluang di Bagian Manajemen
Akses peluang mengacu pada pertumbuhan, mobilitas, dan
kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
serta karier (Kanter, 1993). Temuan dalam
penelitian ini yaitu adanya persepsi sebagian karyawan yang negatif terhadap
peluang karir. Persepsi ini muncul dikarenakan mayoritas karyawan adalah PNS
yang jenjang karir banyak dipengaruhi oleh tekanan politik dan kekuasaan
eksekutif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mashuri (2007) yang menemukan
bahwa adanya penetrasi politik dalam menentukan jabatan struktural di kalangan
birokrasi. Peluang karir berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap
kinerja karyawan (Simbolon, 2008)
“Training helps employee do their current
jobs, the benefits of training may extend throughout a person’s carreer and help
develop that person’s for future responsibilities”
(Werther & Davis, 1989)
Pada penelitian ini,
ditemukan ketidaksesuaian pekerjaan dengan kompetensi dan sedikitnya peluang mengikuti
pelatihan di bagian manajemen RS X. Ketidaksesuaian
kompetensi (pendidikan) dapat diatasi dan dikurangi dengan mengikutkan karyawan
pelatihan sehingga karyawan dapat memberikan kinerja terbaiknya. Berbagai
penelitian menunjukan adanya hubungan yang positif dan signifikan pelatihan
dengan kinerja (Amirullah, 2009; Wardhana, 2008). Namun, di
banyak instansi pemerintahan, pelatihan tidak direncanakan dan di kelola dengan
baik masih mengelolah pelatihan sistem kantor pos sehingga tujuan pelatihan
tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi (Pella, 2011).
- Akses Informasi di bagian Manajemen
Most
important is sharing information about company performance, helping people
understand the business, building trust through sharing sensitive information,
and creating self-monitoring possibilities (Randolph, 1995)
Informasi sangat erat
hubungannya dengan komunikasi. Untuk membangun pemberdayaan diperlukan
komunikasi akan informasi yang berkaitan dengan pekerjaan dan fungsi organisasi
sehingga terbangun kepercayaan dalam diri karyawan. Informasi yang di dapat
juga harus diidentifikasi dan di analisa untuk kepentingan organisasi. Kemampuan
mengidentifikasi hanya dapat dilakukan jika seorang karyawan memiliki akses
informasi dari lingkungan.(Mathews & TS, 2011). Ambiguitas peran
(role ambiguity) dirasakan
jika seorang karyawan tidak memiliki cukup informasi untuk dapat
melaksanakan tugasnya sehingga
dapat meningkatkan stress kerja karyawan (Agung Narudana, 2012). Temuan Debora (2006)
mengidentifikasikan bahwa akses informasi merupakan indikator pernbentuk
variabel pemberdayaan kerja yang variasinya dalam menentukan variabel tersebut
paling tinggi.
- Akses Dukungan di Bagian Manajemen
Dukungan mengacu pada bimbingan dan umpan balik yang diterima dari bawahan,
rekan kerja, dan supervisor untuk meningkatkan efektivitas (Kanter,
1993, Laschinger et.al 2001; 2003). Di RS X ditemukan
bahwa akses dukungan hanya sebagian yang merasakan. Penyimpangan tertinggi pada
pengakuan dan penghargaan (sedikit=22%). Hal ini menunjukan bahwa pengakuan dan
penghargaan belum maksimal dirasakan karyawan bagian manajemen.
Pengakuan dan
penghargaan yang dirasakan masih berupa materi belum menyentuh immateri
karyawan (rasa aman dan aktualisasi diri). Hasil ini berbeda dengan hasil
penelitian Debora (2005) yang mengidentifikasikan bahwa akses dukungan
merupakan indikator pemberdayaan kerja yang paling mendapat perhatian.
Perbedaan ini terjadi dikarenakan subjek penelitian Debora adalah Dosen di
Universitas yang berkarakteristik berpendidikan tinggi dan penelitian dilakukan
secara kuantitatif.
- Akses Sumber Daya di Bagian Manajemen
Akses sumber daya di
bagian manajemen RS X teridentifikasi memiliki rerata
tertinggi di banding akses lain (3,34). Hal ini menunjukan bahwa sumber daya merupakan pusat utama perhatian
di RS X Selaku SKPD, dukungan financial cukup banyak
dari pemerintah baik daerah maupun pusat. Namun, dukungan dana kebanyakan untuk
pengadaan barang jasa dan belanja modal menambah asset organisasi.
Penemuan dalam
penelitian ini yaitu sedikitnya partisipasi
karyawan dalam penyediaan sumber daya (SDM, perlengkapan dan peralatan). Sedikitnya
partisipasi dikarenakan adanya peraturan dan perundangan yang mengikat dan
memberikan syarat tertentu dalam pengadaan barang jasa di pemerintahan. Partisipasi dan keterlibatan langsung
karyawan dalam program akan meningkatkan efektifitas organisasi. Karyawan
merasa diberdayakan dan meningkatkan komitmennya terhadap organisasi (Lashley, 1995). Sebagaimana di
buktikan dalam penelitian (Nurika Restuningdiah, 1999) yang menemukan
bahwa partisipasi akan meningkatkan kepuasan, dan partisipasi berhubungan
positif dan siginfikan terhadap kinerja (Verawati & Utomo, 2011)
Pemberdayaan Psikologi
merupakan peningkatan motivasi intrinsik yang dimanifestasikan ke dalam empat
kognisi (meaning, competence, self
determination/otonomi, impact) yang
mencerminkan orientasi seseorang terhadap peran pekerjaannya (Spreitzer, 1995). Secara
bersama-sama keempat dimensi tersebut merefleksikan orientasi terhadap peran
kerja secara aktif. Keempat dimensi diatas tergabung membentuk keseluruhan
konstruk pemberdayaan psikologis, atau dengan kata lain apabila salah satu
dimensi tidak ada, maka tingkat pemberdayaan psikologis yang diperoleh juga
tidak maksimal.
Di Bagian Manajemen
RS X. Karyawan bekerja tanpa ada kejelasan tugas,
ketidaksesuaian dengan kompetensi, kerja yang terikat dengan peraturan, dan
otonomi yang terbatas merefleksikan bahwa pembentukan motivasi intrinsik telah
salah pada awal. Sebagian karyawan yang PNS merefleksikan gambaran umum kinerja
PNS yang lambat, bekerja tanpa inovasi dan improvisasi, orientasi hanya imbalan
(gaji) dan profesionalisme yang rendah.
Hal ini sejalan dengan
PNS yang digambarkan mempunyai tingkat
profesionalisme yang rendah, kemampuan pelayanan
yang tidak optimal, rendahnya tingkat reliability, assurance,
tangibility, empathy dan responsiveness, tidak
memiliki tingkat integritas sebagai pegawai
pemerintah sehingga tidak mempunyai daya
ikat emosional dengan instansi dan tugas‐
tugasnya, tingginya penyalahgunaan wewenang
(KKN), tingkat kesejahteraan yang rendah
dan tidak terkait dengan tingkat
pendidikan, prestasi, produktivitas dan disiplin pegawai.
(Www.Lan.go.id, 2011)
“…dan
bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu…”
(QS. At-Taubah ayat 205)
Ada hal unik yang diperlihatkan sebagian kecil karyawan bagian
manajemen RSUD dr. H. Mohamad Rabain. Karyawan
yang bekerja dengan sepenuh hati, bersemangat, dan mampu melaksanakan
tugas rangkap lebih dari tiga yang di embannya. Dalam hasil wawancara, karyawan
bekerja dengan hati nurani dan menjaga amanah yang diemban sebagai salah satu
bentuk ibadah kepada Tuhan. Karyawan ini
memulai proses pemberdayaan pada diri sendiri dan langsung memberikan
kontribusi berupa efektifitas kerja dalam tugas. Hal ini sesuai dengan sebuah
pendapat ahli yang saya kutip dalam mata kuliah Variasi Proses dari prof . dr.
Adi Utarini, MSc, MPH, PhD yang menuliskan;
“It
is love – You have to love your patient, your profession, your God. If you have
love, you can then work backward to monitor and improve the system”
Penelitian yang meneliti masalah ini sangat jarang
ditemukan dan peneliti belum menemukan penelitian yang mampu menjelaskan proses
ini.
“If
we are truly committed to quality, any reasonable method will work. If we are
not, the most elegantly constructed of mechanisms will fail “
(Donabedian,
1996)
Karakteristik Karyawan yang mayoritas PNS (91% dari
responden) bisa menjadi faktor penghambat dalam memberdayakan karyawan. PNS
identik dengan pekerja yang indisplin dan tidak professional (Sutiono & TS, 2011). Peluang Karir
yang sedikit karena masih di pengaruhi kegiatan politik dan sistem tata
pemerintahan yang masih spoil system
(rasa suka-tidak suka, kekeluargaan, balas jasa) sehingga banyak ditemukan
pejabat yang kurang memenuhi persyaratan jabatan seperti ketrampilan,
pengetahuan, peran sosial, citra diri, sikap atau perilaku, dan motivasi (Arman, 2013; Mashuri, 2007)
Temuan lain yaitu,
lebih dari separuh karyawan bagian manajemen RS X adalah
perempuan. budaya Indonesia yang memandang perempuan mempunyai tanggung jawab
lebih besar dalam keluarga dapat menjadi hambatan dalam memberdayakan karyawan
perempuan (Triaryati, 2003).
Di RS X ditemukan budaya Kerja karyawan yang terbagi dalam dua bentuk, bentuk pertama,
yang penting datang, absen, dan dilihat pimpinan yang penting “Asal bapak Ibu Senang” . Bentuk kedua, karyawan
yang focus pada pekerjaan, sibuk dan mempunyai banyak tanggung jawab. Untuk itu
diperlukan usaha yang sungguh untuk melakukan reformasi birokrasi (Frinaldi, 2012).
Pendukung dalam
memberdayakan karyawan yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu; sifat
pekerjaan di bagian manajemen yang berpeluang untuk berinovasi dan
berimprovisasi, serta fleksibiltas. Bagian manajemen merupakan unit pendukung
dari kegiatan utama rumah sakit yang berhubungan dengan administrasi yang
mencakup perencanaan, penyediaan dan evaluasi terhadap unit utama pelayanan.
RS X yang telah menerapkan PPK-BLUD yang mempunyai fleksibilitas dalam
mengatur angguran termasuk mengangkat karyawan selain PNS (Permendagri No 61
tahun 2007). Ini merupakan peluang untuk mengatur anggaran terutama yang
bberhubungan dengan pengembangan dan peningkatan kemampuan karyawan.
Selain itu adanya
dukungan dari pihak pemerintah daerah kabupaten A untuk melakukan
reformasi birokrasi (www.BPKP.go.id).
Reformasi birokrasi yang berupaya menciptakan good governance termasuk
menciptakan SDM yang handal dan berkualitas (Www.Lan.go.id, 2011)
Daftar Pustaka
Agung Narudana. (2012). Pengaruh Stres Kerja
Terhadap Kinerja Karyawan pt. PLN (persero) Cabang Makassar. Universitas
Hasanudin. Retrieved from A NARUNDANA - 2012 - repository.unhas.ac.id
Amirullah. (2009). PENGARUH MOTIVASI, PELATIHAN DAN KOMPENSASI TERHADAP
KINERJA PEGAWAI DI DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN PROBOLINGGO. Dialektika,
01. Retrieved from
http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/jdt/article/view/17146
Arman, S. (2013). PROSES PENGANGKATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM JABATAN
STRUKTURAL ( Suatu Penelitian di Dinas Pendidikan Kabupaten Sintang ) ( A study
at the Department of Education Sintang Regency ). Jurnal Ilmiah Imu Sosial
dan ilmu politik Universitas Tanjung Pura, 01(01), 1–23. Retrieved
from http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpmis/article/view/1146/1160
Badi, J., & Tajdin, M. (2004). Islamic Creative Thinking (I.,
pp. 117–120). Bandung, Indonesia: PT. Mizan Pustaka.
Debora. (2006). Pengaruh Pemberdayaan Kerja dan Psikologis Terhadap
Kepercayaan Organisasional dan Kepuasan Kerja Dosen Tetap Perguruan Tinggi
Swasta. jurnal manajemen dan kewirausahaan, 8(02), 61–71.
Frinaldi, A. (2012). Analisis Budaya Kerja Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Jurnal
Ilmu Administrasi Negara, 11(01), 123–140. Retrieved from
http://ejournal.unp.ac.id/students/index.php/ian/article/view/32/23
Kanter, R. M. (1993). Men and Women of the corporation (3rd ed.,
pp. 277–324). 387 park avenue south, New York: Basicbooks. Retrieved from http://www.goodreads.com/book/show/108588.Men_and_Women_of_the_Corporation
Kimsean, Y. (2011). Produktivitas Kerja Pegawai Pada Birokrasi. In A. T.
Sulistiyani (Ed.), Memahami Good Governance Dalam Perspektif Sumber Daya
Manusia (pertama., pp. 319–350). Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Gava
Media.
Lashley, C. (1995). Towards an understanding of employee empowerment in
hospitality services. International Journal of Contemporary Hospitality
Management, 7(1), 27–32. Retrieved from
http://dx.doi.org/10.1108/09596119510078207
Mashuri. (2007). Penetrasi Politik Dalam Rekruitmen Elit Birokrasi
Studi Kasus Penataan Jabatan Struktural di kabupaten Kendal. Universitas
Dipenogoro Semarang. Retrieved from eprints.undip.ac.id/18133/1/MASHURI.pdf
Mathews, H. C., & TS, A. (2011). Strategi dan Struktur Birokrasi
Menuju Good governance. In A. T. Sulistiyani (Ed.), Memahami Good Governance
Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia (pertama., pp. 47–76). Yogyakarta,
Indonesia: Penerbit Gava Media.
Nurika Restuningdiah. (1999). Pengaruh partisipasi terhadap kepuasan
pemakai dalam pengembangan sistem informasi dengan kompleksitas tugas,
kompleksitas sistem, dan pengaruh pemakai sebagai moderating variable.
Universitas Gadjah Mada.
Pella, D. A. (2011). Membangun Pelatihan Berbasis Kompetensi. Jakarta,
Indonesia: AIDA articles.
Quinn, R. E., & Spreitzer, G. M. (1997). The Road To Empowerment:
Seven Question Every Leader Should Consider. Organization Dynamic,
37–49.
Randolph, W. A. (1995). Navigating The Journey To Empowerment. Organizational
Dynamic, 23, 19–32. doi:10.1016/0090-2616(95)90014-4
Sarsono, & Suseno, Y. D. (2012). Pengaruh Deskripsi Pekerjaan dan
Pengembangan Karir Terhadap Prestasi Kerja dengan Kepuasan Kerja Sebagai
Variabel Moderasi. jurnal Manajemen Sumber Daya Manusia, 6(2), 139–149.
doi:1978-1091
Simbolon, A. P. (2008). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja dosen di politeknik negeri medan. Universitas Sumatera Utara.
Spreitzer, G. M. (1995). psychological empowerment in workplace:
dimensions, measurement, and validation. Academy of Management Journal, 38(5),
1442–1465.
Surakarta, S. (2009). Pengaruh Kompetensi dan Motivasi Terhadap Kinerja
Pegawai dengan Kepuasan sebagai Variabel Moderate. EXCELLENT, 1(1),
1–19. Retrieved from e-journal.stie-aub.ac.id/index.php/excellent/article/download/135/115
Sutiono, A., & TS, A. (2011). SDM Aparatur Pemerintah Dalam Birokrasi
Publik di Indonesia. In Ambar Tegus Sulistiyani (Ed.), Memahami Good
Governance Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia (Pertama., pp. 1–25).
Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Gava Media.
Triaryati, N. (2003). Pengaruh Adaptasi Kebijakan Mengenai Work FPengaruh
Adaptasi Kebijakan Mengenai Work Family Issue Terhadap Absen Dan Turnoverer. jurnal
manajemen dan kewirausahaan, 5(1), 85–96. Retrieved from
http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/man/article/view/15636
Verawati, Y., & Utomo, J. (2011). Pengaruh Komitmen Organisasi,
Partisipasi dan Motivasi Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Bank LIPPO Kudus. Analisis
Manajemen, 5(2).
Wardhana, L. (2008). Analisis Pengaruh Motivasi Kerja, Disiplin Kerja,
Pendidikan dan Pelatihan Terhadap Kinerja Guru Sekolah Dasar Negeri di
Kecamatan Gayungan Kota Surabaya. Ekonomi manajemen dan Bisnis (EMAS), 2.
Retrieved from LW Wardana - Dalam Jurnal Ekonomi manajemen dan Bisnis ( ?, 2008
- jurnal.pdii.lipi.go.id
Werther, W. B., & Davis, K. (1989). Human Resources And Personnel
Management. (K. Davis, Ed.) (3rd ed., p. 628 hal). Pennsylvania State
University: Mc Graw Hill series in Management.
Www.Lan.go.id. (2011). Pengukuran dan Hasil Kajian Kinerja PNS di daerah.
Jakarta, Indonesia: Pusat Kajian Otonomi daerah Lembaga Administrasi Negara.
Retrieved from http://www.lan.go.id/weblan/kajian/Abstrak Kajian SDAD.pdf
Yuliani, S. (2011). Rekruitmen Pegawai di Lingkungan Birokrasi. In A. T.
Sulistiyani (Ed.), Memahami Good Governance Dalam Perspektif Sumber Daya
Manusia (I., pp. 131–157). Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Gava Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar